TopMenu

Jumat, 13 Juni 2014

Serunya Anak-Anak

Belakangan saya mendapat kesempatan bertemu dengan anak-anak kelas 1 SD. Tidak hanya anak kelas 1 sih. Ada juga kelas 2 dan kelas 4. Saya mengajar mereka tahsin Al-Qur'an. Saya cuma mendapat tugas di kelompok itu. Masing-masing kelompok terdiri dari 10-15 anak.

Yang sangat berkesan adalah ketika berpapasan dengan saya, mereka selalu mengajak bersalaman. Tentu saja demikian juga ketika mereka bertemu guru mereka yang lain. Jadi, kalau bertemu dalam sehari 5 kali, ya, 5 kali salamannya, hee.

Tapi yang paling lucu memang anak kelas 1. Kalau mereka melihat saya dari jauh, mereka sudah berteriak memanggil saya. Mereka berlari menghampiri dan kemudian bersalaman. Tapi, tidak bersalaman saja yang membuat saya geli. Kadang ada yang memeluk saya dan bahkan mencium saya. Aiiih ...
"Bu Ridhaaaaa ... peluk, peluukk ...!"
"Mammiii mamiiii ... ciuuum ...!"
Itu anak perempuan. Anak laki-laki lain lagi. Misalnya, tiba-tiba ada yang berbisik, "Bu, saya sekarang sudah bekerja."
"Oh, ya? Bekerja di mana?" tanya saya.
"Di pesawat Malaysia yang hilang itu.
"Kamu jadi apa?" tanya saya. Dengan susah payah dia mencoba menjelaskan.
"Saya tahu pesawat itu jatuh di mana ...," katanya.
"Memangnya jatuh di mana?" tanya saya antusian plus heran. Kok, bisa anak sekecil ini mikirin pesawat yang hilang. Baca apa dia di rumah, ya? batin saya.
"Kan, ada pulau, Bu. Nah, dekat pulau itu pesawat itu jatuh. Trus kotak hitamnya masuk ke dalam laut ...."
"Trus?" tanya saya. Anak itu diam. Tapi matanya terus memandang saya. Keliatan banyak banget yang mau dia ceritakan.
"Saya belum kerja lagi," katanya. Ups ... saya geli banget mendengarnya. Haha, duh bocah!

Bersambung, ah :)
»»  baca selengkapnya ...

Selasa, 14 Mei 2013

Resensi Novel: Cinta Kamu, Aku





Judul Buku: Cinta Kamu, Aku

Penulis: Irfan Ihsan
Penerbit: Noura Books
Tebal Buku: 320 halaman
Cetakan Pertama, Februari 2013


Bukan Drama Radio!


Fabian Suhendra atau yang biasa dipanggil Aan, seorang pemuda 27 tahun yang masih menjomblo, bekerja di sebuah stasiun radio swasta, Flash FM. Tiga bulan menunggak bayaran kosan membuat Aan terpaksa kucing-kucingan dengan ibu kosnya. Malapetaka itu disebabkan karena persaingan ketat antar stasiun radio sehingga jadwal siarannya dikurangi. Otomotis, penghasilan Aan berkurang.
Risha, penyanyi papan atas yang tengah galau dengan Yudha, pencipta lagu kondang, sang kekasih hati yang akhirnya menikah dengan Ratih karena paksaan orang tuanya. Yudha berjanji akan segera mempersunting Risha, begitu urusan perceraiannya selesai dengan Ratih.
Pertemuan pertama Risha  dengan Aan terjadi ketika Risha dan manajernya salah jadwal interview di radio Aan. Namun dengan sangat meyakinkan, Aan berhasil mewawancarai Risha dalam acara on air pertamanya yang cukup sukses. Pada saat itu, Aan tidak bisa menutupi dirinya bahwa pesona Risha sudah merasuk ke dalam hatinya.
Pertemuan kedua terjadi ketika Aan harus menggantikan rekan kerjanya untuk melakukan reportase di sebuah acara penghargaan bagi insan musik Indonesia. Ketika mereka sedang ngobrol berdua, wartawan datang untuk mewawancarai Risha. Tidak jauh dari mereka, Risha melihat Yudha juga sedang diwawancarai wartawan. Yudha terlihat menggandeng Ratih, istrinya, dengan mesranya. Yudha menyangkal isu bahwa hubungannya dengan Ratih tidak harmanis.
Pemandangan itu membuat hati Risha panas. Dan terjadilah sebuah ‘kecelakaan’ yang akhirnya membuat jalan hidup Risha dan Aan berbalik 180 derajat. Kejadian yang akhirnya membuat heboh ‘dunia persilatan’.

***

“Iya …. Aku ngerti, kok, apa yang sebenernya terjadi. Aku juga kadang nggak bisa ngendaliin perasaanku. Apalagi ke kamu. Terus terang sejak pertama kali lihat kamu di studio, aku nggak bisa ngebohongin perasaan aku. Aku … sayang sama kamu.” Perkataan Aan mengalir begitu saja, tanpa bisa dibendung. Jantungnya berdebar, hatinya lega. Namun, kebalikannya dengan Risha, mukanya kelihatan kaget, perasaan campur aduk antara bingung mau komentar apa, kasihan, sebal, dan nggak tahu harus mulai dari mana.

***

Kisah di buku ini kocak, seru, dan bernuansa religi menurut saya. Banyak adegan-adegan kocak yang membuat saya cekikikan ketika membacanya. Salah satunya, kutipan adegan di atas. Tidak bisa membayangkan Aan yang kepedean dengan perasaannya menyatakan apa yang ada di dalam hatinya. Sementara Risha seperti mau meledak ingin menyadarkan Aan: Kamu salah! Atau membayangkan ketika Aan sedang tidur kemudian dikagetkan rekan kerjanya dan pose kagetnya itu difoto dan di-upload di facebook. Juga ketika mereka menjalankan ide Pathur, rekan kerja Aan, yang membawa rombongan palang pintu  untuk melamar Risha di apartemennya. Ditambah tokoh Pak Parno yang bagaikan tentara kerajaan menyambut kehadiran Risha. Dan sang Aki, kakek Aan, yang selalu salah menyebut nama Risha.
Buku ini seru ya jelas saja melihat perjuangan seorang Aan untuk mendapatkan Risha yang dunia mereka bagaikan langit dan bumi. Tapi yang paling seru dan membuat saya lagi-lagi terbahak adalah ketika Risha, Mbak Silvi dan Lego (asisten dan manajer Risha) harus menyamar dan menghindar dari kejaran wartawan. Kejar-kejaran itu bagaikan adegan film James Bond adanya. Apalagi ketika berbelok dari jalan protokol, mereka menemui jalanan yang separonya dipakai buat tenda hajatan. Dan, Lego sukses membuat tenda dan para pemasangnya berantakan.
Sementara nuansa religi terlihat ketika dari awal digambarkan sosok Aan yang rajin shalat, pemuda baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Risha yang tadinya lebih sibuk mengurus karirnya, akhirnya tersentak ketika mendengar azan di subuh hari dan hatinya terpanggil untuk menunaikan kewajiban yang selama ini dia abaikan. Bahkan sang Aki, sangat khawatir mengetahui Aan memiliki hubungan dengan seorang penyanyi terkenal. Sang Aki mewanti-wanti Aan supaya segara saja menikahi gadis itu. Nasihat sang Aki pula yang membuat Aan kembali semangat untuk mendapatkan Risha.
“Eh, inget … langsung nikah! Jangan jinah! Asup neraka nanti!”


***
Dengan bahasa yang ngepop dan alur cerita yang mengalir, buku ini menarik untuk dibaca. Pas menjadi bacaan hiburan. Namun, dari sisi editing, ada beberapa penulisan kata terlihat tidak konsisten. Seperti pemakaian kata Blackberry, ada yang dimiringkan dan ada yang tidak (hal 131 dan 156). Kemudian  penulisan Royal Ballroom Surabaya (halaman 135 dan 136). Cukup banyak kata-kata asing yang sebenarnya sudah umum, namun ditulis dengan miring (italic). Agak kurang nyaman saja membacanya.

Terakhir, bagi mereka yang pernah menggeluti dunia radio, pasti seru banget membaca buku ini. Tapi jangan khawatir, bagi yang belum tahu banyak tentang dunia ini, Irfan Ihsan, yang memang lama bergelut di dunia radio, dengan baik memberi kita gambaran pekerjaan di radio itu seperti apa. Bagi pecinta drama romantis, buku ini recommended …! 




»»  baca selengkapnya ...

Kamis, 02 Mei 2013

Resensi Novel Surat Dahlan













Antara Cita dan Cinta

Cerita diawali ketika Dahlan muda mengambil kuliah lagi di Universitas 17 Agustus Samarinda. Setelah sebelumnya terdaftar sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Agama Islam di kota yang sama. Semuanya tidak lebih untuk melepas kegalauan. Galau ketika tiba-tiba kampung halaman bermain-main di pelupuk matanya. Dan galau dengan masa depan yang masih jauh dari titik terang.
Mengikuti kuliah di dua kampus itu masih belum bisa membangkitkan semangat Dahlan untuk mengejar cita-citanya. Situasi politik negeri yang carut marut membawa Dahlan Muda lebih asyik berdiskusi dengan teman-teman seperjuangannya di sekretariat PII daripada mendengarkan ceramah dosen-dosennya di kampus.
Ditambah surat-surat dari sang pujaan hati, Aisha dari kampung halaman, menambah kegalauan Dahlan muda. Ketidakmampuan memberikan harapan kepada sang gadis membuat Dahlan tidak sanggup membalas surat-surat itu. Namun, tidak hanya Aisha, tapi juga ada Maryati. Berbeda dengan Aisha, Maryati cenderung lebih berani. Dia datang ke Samarinda dengan alasan untuk kuliah, walau tujuan sebenarnya adalah ingin mendapatkan kepastian dari Dahlan: pilih aku atau Aisha! Namun, di tengah dua gadis itu, ada seorang gadis lagi dari Loa Kulu yang hadir dalam kehidupan Dahlan. Nafsiah, si tomboi teman seperjuangan Dahlan di PII.
 Situasi politik yang semakin memanas di tahun 1974, membuat Dahlan dan teman-teman PII-nya tidak tahan hanya diam. Mereka kemudian melakukan aksi di Tugu Nasional. Aksi itu kemudian membuat dia dan teman-temannya menjadi buronan aparat pemerintah. Dalam pengejaran itu, Dahlan ditakdirkan bertemu dengan seorang janda tentara, Nenek Saripa. Dalam persembunyian di rumah Nenek Saripa itulah, Dahlan mengusung tekad memperjuangkan cita dan cintanya.

          Sayid berseru agar Nafsiah segera turun. Dan, mereka hilang ditelan rimba bambu.          
          “Dia menyukaimu!” ucapan Nenek Saripa itu seperti halilintar. (halaman 168)
           
“Banyak cara untuk melawan, Lan,” kata Sayid. Suaranya amat tenang. “Kamu bisa terus mempertahankan idealisme tanpa harus dikejar-kejar tentara.”
“Caranya?”
“Jadi wartawan!” sahut Sayid dengan tegas. “Kalau mau, kamu bisa bergabung dengan kami di Mimbar Masyarakat.” (hal 157)

Dan itulah yang terjadi. Setelah situasi tenang, Dahlan melupakan kuliahnya. Dia menerima tawaran Sayid. Menjadi wartawan! Jungkir balik menjadi wartawan pemula tentu saja dialami Dahlan. Tidak jarang, liputan yang dia peroleh dengan susah payah, hanya dimuat satu baris. Pelengkap berita! Namun, perlahan tapi pasti, karir Dahlan sebagai wartawan semakin naik. Hingga akhirnya dia dipercaya memimpin Jawa Pos yang ketika itu mulai kolaps. Dan, cintanya pun berlabuh di hati anak seorang tentara.
Tidak diceritakan bagaimana Dahlan muda mengasah kemampuan menulisnya sehingga bisa menjadi wartawan yang cukup diperhitungkan di awal karirnya. Kebiasaannya dari kecil hanyalah menuliskan kisah hidupnya di buku diari. Kenyataannya, kebiasaan ini tidak bisa dipandang remeh. Sejenak, saya teringat dengan Anne Frank (penulis Buku Harian terkenal) dan R.A. Kartini.
Dedikasi Dahlan dalam mengemban amanah sebagai wartawan, bahkan mengalahkan kerinduannya terhadap sang Bapak yang tinggal di kampung. Perjalanan yang hanya memakan waktu 5 jam sebenarnya dari Surabaya, tempat Dahlan menetap setelah pindah dari Samarinda. Dia baru bisa menginjakkan kakinya kembali di Kampung Dalem setelah hampir 10 tahun meninggalkannya. Bertemu kembali dengan sang Bapak tercinta, inspirator ulung Dahlan, cukup membuat haru.
***
Di bab awal novel ini, saya merasakan alur yang agak lama dan membosankan. Saya bahkan khawatir akan membutuhkan waktu yang lumayan lama mengkhatamkannya. Tapi setelah masuk ke bab kedua dan seterusnya, rasanya buku ini memiliki magnit. Istilah saya, dalam satu tarikan nafas, buku ini bisa saya tuntaskan. Salah satu sebabnya, kalimat yang digunakan sederhana dan mudah dicerna.
Tidak salah jika kita melirik penulis novel ini. Khrisna Pabichara, seorang penulis yang menjadi pemenang Katulistiwa Literary Award 2012, menjadikan novel ini enak dibaca dan perlu. Dan, saya sepakat dengan judulnya, novel ini memang menginspirasi!

"Bung Karno juga tidak punya bakat menjadi presiden, Ding. ... Butuh satu modal lagi, kau bisa menjadi wartawan andal."
"Apa?"
"Kesungguhan! ..." (halaman 192)
***
Kisah dalam kitab Al-Ghazali yang dituturkan sang Bapak, menjadi ending buku ini.
Imam Al-Ghazali, kata Bapak, lantas bertanya lagi kepada murid-muridnya. “Apakah yang paling dekat dengan diri kita? … Pada hakikatnya, yang paling dekat dengan diri kita adalah kematian.” (hal 361-362)








»»  baca selengkapnya ...

Selasa, 09 April 2013

Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, 
dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. 
Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.

Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. 
Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. 
Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. 

Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. 
Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.” 

— Tere Liye, novel “Daun yang jatuh tak pernah membenci Angin”
»»  baca selengkapnya ...

Kamis, 04 April 2013

Ibu-Ibu Hebat

Awal mula saya bertemu dengan ibu-ibu hebat ini memang karena takdir Allah.
Begini ceritanya.
Teman saya, sebut saja si A, memiliki sebuah grup tahsin. Pesertanya rata-rata ibu-ibu usia di atas 50-an. Tahsin mereka berjalan setiap hari Rabu siang bada zuhur. Mereka mengadakannya di sebuah aula yang dimiliki oleh salah seorang ibu peserta tahsin itu.
Ternyata grup tahsin di tempat itu ada tiga grup. Si A memegang satu grup.

Suatu siang, si A menemui saya. Dia menyampaikan kalau dia kuliah lagi. Dan intinya, setiap Rabu siang, dia tidak bisa lagi menghadiri pertemuan dengan ibu-ibu tahsinnya. Dia sudah mencari pengganti, tapi nihil. Tidak ada yang bisa. Akhirnya dia meminta saya untuk menggantikan tugasnya.

Mata saya membulat. Saya? Gak salah?
Memang sih, dilihat dari waktu, saya bisa. Tapi mengajar tahsin gitu lho? Ibu-ibu pula?
Tapi  semua alasan saya, dia tolak. Ya, sudah. Bismillah. Moga saya mampu. Dan ... moga ini menjadi pemberat amal saya di yaumil hisab nanti. Kesimpulannya, gak ada rotan akar pun jadi. Begitulah.

Saya pun mulai mengajar ibu-ibu itu. Mereka ada enam orang. Ternyata o ternyata grup yang saya pegang adalah grup tingkat advance :D. Dah canggih-canggih baca Al-Qur'annya. Mereka minta ditambahkan program hafalan. Mulai dari An-Naas, ya, Bu. Subhanallah. Saya garuk-garuk kepala. Ya, sudah. Baik, Bu, jawab saya. Semangat mereka pasti menular ke saya, batin saya.

O ya, waktu tahsin mereka dari pukul 13.00-15.00. Waktu yang enak buat tidur siang sebenarnya. Tapi tidak bagi mereka. Hal yang membuat saya lama-lama jatuh cinta kepada mereka. Bagaimana tidak? Mereka sudah agak sepuh. Berjalan kadang agak terseok karena lutut mereka mulai sakit. Tempat tahsin ada di lantai dua. Mereka harus menaiki anak tangga yang lumayan banyak. Sesampai di atas, mereka langsung duduk dan selonjoran. Posisi paling nyaman buat mereka. Saya tersenyum melihat semua itu. Tersenyum karena kagum. Begitu mata mereka bersitatap dengan mata saya, senyum ibu-ibu itu merekah. Membuat hati saya membuncah bahagia.
"Telat, ya, gue?" pertanyaan salah satu dari mereka biasanya. Pertanyaan yang membuat saya geli. "Gue"nya itu, lho.

Pada hari Rabu yang kesekian, saya sudah bersiap-siap berangkat menuju tempat mereka. Tapi, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Saya tunggu. Setelah setengah jam hujan belum reda juga. Saya bingung. Sudah pukul 13.30. Saya SMS guru yang lain menanyakan ibu-ibu di grup saya ada yang datang tidak? Agak lama, saya mendapat jawaban. "Ada, Bu. Tiga orang."
Saya pun bergegas mencari ojek. Dengan baju agak basah, saya sampai juga di sana. Saya melihat senyum ibu-ibu itu merekah melihat kehadiran saya. Indaaah sekali rasanya. Pukul 13.50 tahsin saya mulai. Sedang asyik-asyik menyimak, saya melihat satu ibu lagi datang. Oke, empat orang yang hadir, batin saya sambil melirik jam. Belum lima menit, datang  satu orang lagi. Baiklah, 5 orang sudah sekarang. Baru saja saya berpaling, duduk satu orang ibu-ibu lagi.
Enam orang!
Kumplit!
Hujan masih turun walau sudah tidak sederas tadi. Hati saya terenyuh. Rabb, luar biasanya mereka. Sudah sepuh tapi tidak mengenal uzur. Sedangkan saya? Kadang masih sering hadir terlambat di pengajian saya. Cukup banyak stok alasan kenapa saya akhirnya tidak hadir, misalnya. Saya malu dengan mereka.

Dan di akhir pertemuan, setelah doa dibacakan, tanpa sengaja ada saja yang menceritakan kondisinya. Kondisi suami, anak, cucu dan sebagainya. Dan biasanya, mereka mengakhiri dengan kalimat, "Kita saling mendoakan ya. Semoga semua masalah yang kita hadapi bisa kita atasi dengan baik." Semua mengamininya. Indah, bukan?

Ibu-Ibu Hebat, betapa saya mencintai kalian ... :)



(pas di foto, satu orang tidak hadir karena sakit)

»»  baca selengkapnya ...

Jumat, 01 Maret 2013

Kata: Sepotong Jiwa

Repost Catatan di Fb tahun 2009 ... :)

Keren pisan judulnya yak.... :) 


Memilih kata untuk bicara, kadang bukanlah perkara gampang. Dengan pilihan kata yang pas, yang jauh bisa menjadi dekat. Atau sebaliknya, yang dekat bisa menjadi jauh. Niatnya mau menyanjung, tapi tidak jarang yang disanjung mungkin malah menjadi tersinggung. Hal ini mungkin sering kita alami. 
Motivasi orang untuk berkata-kata juga berbeda-beda. Ada yang ingin memberi nasehat, ada yang cuman pengen ngomong aja, ada yang untuk becanda, mencairkan suasana, beriklan, memberikan doa, balas dendam (lho?), menyindir, mencemooh, dsb. 

Kalau kita liat akibat dari kata-kata, ada yang semakin dekat, jadi suka, jadi teman, jatuh cinta, jadi musuh, semakin jauh, berantem, perang saudara, perang negara, dsb. 

Ternyata tidak mudah juga berkata-kata ya. 
Dalam al-Qur`an Allah telah memberikan panduan berkata-kata kepada kita. Mungkin kita sering membaca kata qaulan ma’rufa (an-Nisa’:5), qaulan sadida (al-ahzab:70), qaulan layyina (Thaahaa:44), qaulan maisura (al-Israa’:28), dan masih ada lagi qaulan tsaqiilaa, qaulan karima, qaulan baligha. Silakan dicek sendiri, sekalian terjemahannya dan tafsirnya, supaya meresap... 

Qaulan baligha (perkataan yang membekas pada jiwa) bisa dilihat di surah an-Nisaa’ ayat 63. Qaulan baligha adalah ucapan yang dapat menyentuh jiwa orang yang mendengarkannya. 

Beruntung sekali saya, karena telah bertemu dengan beberapa orang yang memiliki qaulan baligha ini. Pengalaman dengan salah seorang dari mereka ingin saya share di sini. Begini kisahnya.... 

Dua tahun yang lalu kami pindah dari Otista ke daerah Condet (Kp. Tengah). Menemukan tempat tinggal bukanlah hal yang mudah buat kami. Karena spesifikasi yang diharapkan juga banyak (deket dari sekolah anak, deket dari kantor suami, harganya terjangkau, agak jauh dari jalan raya, dll). Dengan penuh perjuangan, alhamdulillah, kami pun mendapatkan tempat tinggal yang sesuai dengan kriteria kami. Dan saya menyakininya sebagai sebuah rezeki/nikmat yang harus selalu saya syukuri. Saya yakin, ini bukanlah suatu kebetulan. 

Beberapa hari tinggal di sana, di suatu pagi ketika saya keluar dari rumah, saya bertemu dengan teman kos saya dulu. Kami dulu satu kos di Depok. Kalau tidak salah sudah 10 tahun kami tidak bertemu. Terakhir bertemu ketika teman saya ini walimah. Setelah itu dia diboyong suaminya ke Karawang. Tentu saja, pertemuan itu membuat heboh dunia persilatan. Tapi karena dia buru-buru mau balik ke Karawang karena meninggalkan bayinya yang baru berumur 1 bulan, kami cuma bertukar nomor telepon. Di ujung pertemuan dia masih sempat bertanya, “Kok kamu gak ke rumah ustadzah?” Saya agak bingung awalnya. Saya jelaskan kalau saya new comer di sana. 

Beberapa hari kemudian, setelah tanya sana-sini saya jadi nyambung dengan pertanyaan teman saya itu. Berarti dia jauh-jauh dari Karawang, meninggalkan bayinya, setiap pekan sekali, hanya untuk menyetorkan hafalan al-Qur`annya ke ustadzah, yang sekarang menjadi tetangga saya. 
Saya pun panas. Gudang ilmu begitu dekat dengan saya tapi saya tidak bisa mengambil manfaat apa-apa dari beliau. Memang tidak mudah meminta kelas baru kepada ustadzah tersebut. Jadwalnya sangat padat. Kalau mau, sebenarnya bisa langsung ke lembaga yang beliau juga jadi pengajar di sana. Walaupun tidak terlalu jauh, angkutan ke sana agak susah buat saya yang memang maunya serba gampang saja...:( 

Tapi, Allah memberikan lagi rezeki-Nya kepada saya. Ustadzah tersebut tiba-tiba membuka kelas tahsin baru hanya untuk 10 peserta. Dan saya termasuk orang pertama yang tahu berita ini. Tentu saja kesempatan langka ini tidak saya sia-siakan. Dari sekian banyak yang mendaftar, akhirnya kelas ditutup dengan jumlah murid 9 orang saja. 

Dari pertemuan pertama hingga sekarang, belum ada rasa jenuh/bosan dalam diri kami ketika belajar dengan beliau. Kami sering sekali menolak acara jika bentrok dengan jadwal pertemuan dengan ustadzah ini. Yang kami tunggu-tunggu adalah menit-menit terakhir pertemuan. Karena biasanya beliau memberikan nasehat-nasehat/motivasi-motivasi yang bagaikan sumur ... daleeeem banget. Dan nasehat-nasehatnya itu sering kali kami ingat-ingat. 

Di pertemuan kemaren (2 pekan sebelumnya kami libur, karena anak beliau masuk RS), kami pun mendapatkan nasehat yang sangat membekas. Biasanya kalau sudah libur, bacaan kami pun jadi banyak salahnya. Dan pekan depan berarti kami harus mengulang. 
Kata beliau: 
1. Banyaklah latihan. Kalau kita banyak latihan, lidah kita akan fasih. Kalau jarang latihan, lidah kita akan kelu. Kalau sering ngulang, yang rugi tuh masyarakat. Karena masyarakat sedang menunggu orang-orang yang akan mengajari mereka al-Qur`an. 

2. Jangan ngobrol. Kalau banyak ngobrol, setan akan datang ke majelis ini. Ini halaqoh Qur`an. Yang sedang kita pelajari adalah Al-Qur`an, bukan perkataan manusia. (Lalu beliau mengutip sebuah ayat: wa idza quri’a alaihimul qur`an ....) apabila dibacakan al-Qur`an, dengarkanlah (diamlah) mudah-mudahan kamu mendapat rahmat. Kalau ngobrol, nanti kita tidak mendapat apa-apa. 
Hanya itu pesan beliau. Lalu kami baca doa, bersalaman, dan bubar.

Poin (pukulan) 1. Beliau gak nanya gimana tilawah kami selama 2 pekan ini. Karena beliau sepertinya sudah tahu dari kesalahan-kesalahan bacaan yang kami lakukan. Padahal, beratus kajian yang diikuti, beratus buku yang sudah dibaca, tetap saja pernyataan berikut tidak berubah, “bacalah al-Qur`an minimal 1 juz dalam satu hari.” Jika kita sudah lancar, dengan kecepatan sedang kita bisa selesai membaca 1 juz hanya dalam waktu 45 menit saja padahal. Ini sudah cukup untuk latihan sehari. Cukup untuk membuat lidah kita tidak menjadi kelu. Waktu yang sedikit dibandingkan ketika kita asik fesbukan sebenarnya. 

Poin (pukulan) 2. Mungkin tidak dalam halaqoh Qur`an saja. Di tempat-tempat lain ketika al-Qur`an sedang dibacakan tidak sedikit dari kita yang masih asyik mengobrol, merokok, sms-an, bbm-an, (duh!) dll. Bahkan ketika tilawah pun tidak jarang kita sambi dengan membalas sms. 
“Nanti kita tidak mendapatkan apa-apa,” kata beliau. Padahal Allah menjanjikan akan menurunkan rahmat-Nya bagi orang-orang yang serius mendengarkan ketika kalam-Nya dibacakan. 

Itulah pengalaman saya dengan orang yang memiliki lisan qaulan baligha. Ketika niatnya ikhlas, pesannya nyampe ke hati. 

Kekaguman saya semakin bertambah terhadap beliau, karena wawasan beliau yang begitu luas. Sudah sedemikian ustadzahnya (karena suka dipanggil untuk mengisi dauroh Qur`an di luar kota bahkan nyebrang pulau Jawa), beliau sendiri masih memiliki halaqoh Qur`an, masih tetap belajar Al-Qur`an. Cuman teman-teman halaqohnya mungkin bukan orang Indonesia lagi. Karena beliau belajar via internet. Dan kalau dilihat dari penampilan, beliau adalah muslimah yang bersahaja, sangat sederhana. 

Kembali ke topik di atas, kalau saya simpulkan pilihan kata (diksi) seseorang sangat tergantung dari akhlak dan keimanannya kepada Allah. Dan kalau kita bisa menjaga kata-kata kita (lisan kita) imbalannya adalah surga-Nya (HR Bukhari). Sesuatu yang tidak akan pernah kita tolak pastinya. 

Wallahu a'lam
»»  baca selengkapnya ...

Pertolongan Allah Itu Dekat

Kalau  kita coba merenung, saya yakin semua setuju dengan judul tulisan di atas. Saya sering mengalaminya. Kita semua, pastinya. Tidak ada "kebetulan" dalam hidup. Suatu kali ketika sedang bingung karena ada acara yang harus dihadiri sementara anak tidak ada yang jagain, tiba-tiba  ponakan datang. Dan dengan senang hati bersedia menjaga anak kita. Bukankah itu pertolongan Allah?

Satu kisah yang rasanya sulit untuk saya lupakan adalah waktu saya mau melahirkan Muadz, anak pertama saya. Waktu itu saya masih bekerja di sebuah penerbitan buku di daerah Kalibata. Karena belum ada pengalaman, saya memeriksakan kandungan ke bidan dekat rumah teman saya di daerah Ps. Minggu. Sementara saya tinggal di Otista. Sebenarnya Jaka Sembung naik ojek, sih. Jauh banget dari rumah. Hehehe. Tapi karena rekomendasi dari teman dan setelah periksa yang pertama kali, saya cocok dengan bidan itu. Akhirnya berlanjut  hingga bertekad melahirkan juga penginnya dibantu beliau. O ya, bidan itu juga urang awak. Membuat saya tambah nyaman diperiksa beliau :).

Hari Senin, 9 Juli 2001 saya sudah mengambil cuti melahirkan. Malamnya, saya demam. Badan saya menggigil. Dan tidak nafsa makan. Saya sudah diwanti-wanti keluarga supaya memaksakan untuk makan. Tapi apa daya, nafsu makan itu benar-benar hilang.
Hari Kamis, 12 Juli 2001, pukul 03.00 saya merasakan kontraksi. Saya bangunkan suami dan kakak perempuan saya.

Suami segera ke jalan raya mencari taksi. Cukup lama, akhirnya beliau datang bersama taksi pesanan. Sambil mengambil barang-barang, suami cerita, tidak ada taksi yang mau distop. Hingga taksi yang ini. Tadinya sudah mau berlalu juga tapi akhirnya sang sopir memundurkan taksinya dan bersedia menjemput saya.

Sopir taksi ini rambutnya dikucir, pemirsah. Jantung saya agak deg-degan. Premankah dia? Ketika kami berjalan menuju  taksi itu, saya melihat keempat pintunya sudah dibukakan sang sopir. Saya, suami dan kakak saya pun segera menaikinya. Awalnya, taksi berjalan perlahan. Tapi lama-lama, mulai ngebut sampai saya berpegangan kuat ke jok depan. Lampu merah, karena jalanan sepi, dia terobos saja pemirsa. Saya mulai panik dan lirik-lirikan dengan kakak saya. Tapi anehnya, ketika ada polisi tidur, taksi berjalan sangat pelan. Saya menarik napas lega. Apa jadinya kalau tetap ngebut. *bayangkan*

Rumah sang bidan berada di dalam kompleks. Dua gerbang menuju rumahnya diportal. Tidak terlihat penjaga di sana. Sang sopir turun berkali-kali dan berusaha membuka gerbang. Tapi tidak bisa. Akhirnya, jalan satu-satunya adalah melewati rel kereta api. Dan itu artinya, kami harus berjalan kaki. Akhirnya alternatif inilah yang diambil. Begitu taksi sampai di pinggir rel, saya melirik argo. Lho, kok enggak nyala? Dari tadi? Saya pasrah. Dalam hati berdoa moga kami terhindar dari segala sesuatu yang buruk.

Sopir taksi  menurunkan tas dari bagasi. Saat itulah suami bertanya, "Berapa Mas?"
Tahukah pemirsaah jawaban sang sopir? "Lima ratus ribu?!" BUKAN!
"Bawa aja, Mas, buat susu bayi," katanya sambil tersenyum.

Kami bertiga kaget. "Lho, kok begitu?" tanya suami.
"Iya, gak apa-apa. Saya ikhlas. Moga Ibu dan bayinya selamat, ya," katanya sebelum pamit.

Akhirnya kami berpisah. Masih terpana, kami melanjutkan langkah menuju rumah bidan. Masih ada ternyata orang baik di Jakarta, hehehe. Kisah ini kemudian ditulis suami dan dimasukkan ke Surat Pembaca Harian Republika, dan dimuat. Ayah saya sampai melaminating guntingan berita itu. Subhanallah. Dia-lah yang telah menggerakkan hati sang sopir taksi  sehingga mau mengantarkan kami. Dan kemudian sang sopir tidak mau dibayar. Luar biasa.

Ketika kisah ini kami ceritakan ke teman-teman, ada yang bilang begini, "Ada sopir yang percaya, ketika mereka menolong orang yang akan melahirkan, mereka akan mendapatkan keberuntungan."
Entahlah.

Btw, terus apakah saya langusng melahirkan begitu sampai di rumah bidan? Tidak pemirsah. Saya melahirkan hari Jumat pukul 11.00, setelah 30 jam kontraksi datang-pergi datang-pergi :). What amazing to be a mother!
»»  baca selengkapnya ...

Rabu, 20 Februari 2013

Golongan Darah O, Buku Personality Plus dan Komunikasi Antar Pribadi

Saya yakin sudah banyak yang membaca buku yang ditulis oleh Florence Littauer ini. Buku ini terbit tahun 1996. Sudah lama, ya. Dan saya baru membacanya! Biasa, saya tinggalnya kan di planet lain. :)


Saya sudah sering mendengar tentang buku ini. Bahkan istilah-istilah yang ada di buku ini juga sudah bertebaran di seminar, pelatihan, bahkan di sosmed. Ingatkan, ya, dengan istilah sanguinis, koleris, plegmatis, dan melankolis.

Saya mau cerita pertemuan saya dengan buku ini.
Awalnya saya mengikuti sebuah pelatihan. Nah, di pelatihan itu, pembicara menyinggung tentang karakter manusia berdasarkan golongan darah. Buat saya ini sangat menarik.
Disimpulkan begini.
Orang yang bergolongan darah A cenderung sanguinis.
Yang bergolongan darah B cenderung melankolis.
Yang bergolongan darah O cenderung koleris.
Dan yang bergolongan darah AB cenderung plegmatis.

Golongan darah saya O, pemirsah ...
Nah, dicontohkan perilaku masing-masing dalam beberapa kejadian.
Misalnya,  menghadiri pertemuan.
Golongan darah A dan AB cenderung tepat waktu. O, seringnya terlambat. tidak bisa diandalkan. *gigit kuku*. Sedangkan B, jangan ditanya, biasanya masih di rumah atau dengan santainya bilang gak bisa datang. Eh, ini kata pematerinya lho.

Jadi, golongan darah A (sanguinis itu): serius, perfeksionis, keras kepala, kalau bicara apa yang terasa langsung keluar, tekun, suka bergosip.
B (melankolis) : periang, suka pamer, senang dipuji, berusaha menjadi nomor satu.
O (koleris) : fleksibel, mudah dipengaruhi, dicintai banyak orang, suka mendominasi pembicaraan, dermawan, cocok jadi pemimpin
AB (plegmatis) : cinta damai, pemalu, sensitif. Dan kata pembicaranya, kebanyakan orang yang indigo bergolongan darah AB. Entahlah ...

Yang menarik buat saya tentu saja golongan darah O. Sifat yang menggelitik adalah: mendominasi pembicaraan.
Sepulang dari pelatihan saya mikir agak lama. Ada benarnya juga sih  teori ini.
Pemirsah ... saya jadi bisa mengevaluasi diri saya. Saya tersadar, selama ini, setiap ada tamu yang datang ke rumah saya, pasti yang paling banyak berbicara itu adalah: SAYA. Sampai tamunya pamit, saya bingung, tadi ke sini keperluanya apa, ya. Parah, kan! Dan saya betah berlama-lama ngobrol dengan tamu saya.

Saya jadi teringat dengan salah satu mata kuliah yang dulu saya ikuti: Komunikasi Antar Pribadi. Saya dapat nilai A, pemirsah. Padahal dosennya seorang profesor. Dan saya tidak terlalu mengerti text book yang rata-rata berbahasa inggris. Ketika final test, saya cuma coba pahami pertanyaannya, kemudian saya jawab dengan memberikan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari. #saaaah ... :D. Apa hubungannya dengan teori karakter di atas? Ada dong! Saya memang punya bakat berkomunikasi secara pribadi. Buktinya? Itu tadi, setiap ada tamu (kalau tamu biasanya kan gak rame) selalu yang mendominasi pembicaraan itu adalah saya. Apa karena saya memang orang melayu tulen yang memang suka mengobrol? Entahlah! :D

Seperti biasa, selesai pelatihan saya akan bagi-bagi cerita dengan teman-teman saya. Di antara mereka menyarankan saya membaca buku ini: Personality Plus. Makanya kemudian saya meminjamnya. #hadeuh gak modal.

Bagi saya, teori-teori itu bisa buat bahan evaluasi diri. Jika memang ada yang cocok dengan kita dan ternyata baik, perlu dipertahankan. Tapi jika sebaliknya, berusahalah untuk membuangnya.
Tapi pemirsah, saya kemudian melirik ke orang yang di samping saya. Suami saya juga bergolongan darah O. Sama meriahnyakah dia dengan saya ketika ada tamu? Tidak, pemirsah. Beda 180 derajat. So? :)

»»  baca selengkapnya ...

Laskar Pelangi Versi Saya

Beberapa hari yang lalu, saya membaca berita bahwa buku Laskar Pelangi menjadi Best Seller dunia! Wow!

Saya mau cerita pertama kali saya membaca buku ini. Yang memberi tahu saya adanya buku ini adalah sepupu saya, Faizah Fahmi. Dia tinggal di Pekan Baru.
"Kamu sudah baca buku Laskar Pelangi?" tanyanya ketika menelepon.
"Laskar Pelangi? Apaan tuh?" tanya saya polos. Kejadian ini kira-kira akhir tahun 2007 atau awal tahun 2008 kayaknya. Sementara buku ini pertama terbit tahun 2005. Amit-amit, ya! Saya tinggal di planet mana sebenarnya. Hehehe.

"Masa kamu gak tau? Tetralogi LP," kata Faizah lagi. Saya terdiam begitu Faizah menceritakan sedikit tentang isi bukunya plus siapa itu Andrea Hirata. Begitu dia selesai menelepon, saya SMS beberapa orang teman saya dengan pertanyaan yang sama.

"Kamu sudah baca buku LP?" isi SMS saya. Dan pemirsah, rata-rata mereka menjawab, sudaah .... Dan rata-rata punya bukunya. SMS saya teruskan:
"Pinjaaam ya, bukunya. Saya ambil sekarang!" Peminjam yang baik sekali saya, ya. 

Begitu buku sudah di tangan, langsung saya geber membacanya. Biasanya, jika buku kurang menarik, saya akan membacanya secara acak. Tapi sebaliknya, saya akan membaca dari awal sampai akhir dan biasanya lupa dengan dunia luar. Begitulah yang terjadi dengan buku LP ini. Di halaman awal saja saya sudah terpesona. Dan saya membacanya tanpa jeda, pemirsa. Buku ini tamat dalam satu tarikan nafas, hehehe. *lebay*

Apa yang menarik buat saya membaca buku ini? Pertama, cara penulisnya mengenalkan mereka-mereka yang kemudian dipanggil dengan Laskar Pelangi. Kedua, memaparkan kondisi alam  plus kebiasaan-kebiasaan dari masing-masing etnis yang ada di daerah Belitung. Ketiga, cara penyampaiannya indah. Untuk menyampaikan inti cerita, kadang penulis membawa pembaca ke sebuah kisah  unik yang tidak membosankan untuk diikuti. Keempat, pilihan katanya. Ada banyak bahasa latin yang digunakan untuk menyebut nama sebuah bunga atau tanaman. Dan itu menarik.

Selesai membaca buku ini, saya menelepon kakak perempuan saya. Dia berdomisili di kota Padang.
"Ni, ada buku bagus, nih! Cari, ya," kata saya sambil menceritakan beberapa bagian dari isi buku. Dan tahukah pemirsa? Kakak saya langsung mencarinya, membacanya dan gak sabar ketika Maryamah Karpov (seri keempat) belum juga terbit.

Ketika kakak saya membaca buku ini pertama kali, berkali-kali telepon saya berbunyi.
"Kenapa, Ni?" tanya saya.
"Keren!  Aku lagi baca LP. Aku jadi ingat teman-teman SMP dulu. Yang juara 1 pernah gak masuk sekolah. Hari itu guru matematikaku mengajarkan cara lain mengerjakan soal yang kami rasa sangat sulit. Besoknya, kami dites. Kamu tahu, temanku yang juara 1 itu juga bisa mengerjakannya. Seperti Lintang. Buku ini seperti mengisahkan kita anak-anak kampung yang sebenarnya pintar-pintar." Saya terdiam. Dalam hati saya mengiyakan. *dalam hati mengiyakan kalau saya pintar. halaah*

Telepon sering kali berdering ketika kakak saya sedang membaca Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karvof.
"Kenapa, Ni?" tanya saya.
"Haduh, sakit perut," katanya sambil menahan ketawa.

Ya, begitulah. Tetralogi buku ini mungkin sudah menghipnotis saya. Sampai anak saya yang sulung bertanya, "Kok, Ibu baca buku itu lagi?" Yang akhirnya membuat dia gak tahan untuk  ikut membaca. Terkadang sebelum tidur, mereka saya ceritakan sebagian dari isi buku ini. Anak-anak saya menyimak dengan semangat. Atau saya kemudian terbiasa melihat lirikan aneh suami saya begitu melihat saya ketawa membaca isi buku ini. 

Mengulang membaca, menangis lagi, ketawa lagi, mungkin baru kejadian ketika saya membaca buku-buku LP. Dan akhirnya ketika film-nya beredar di TV, penghuni rumah excited untuk menonton. Dan saya bertindak sebagai narator. Karena filmnya tidak persis sama dengan isi buku.

Terakhir, selamat buat Andrea Hirata yang sudah membuat harum nama Indonesia. *saya kapan, ya*





»»  baca selengkapnya ...

Senin, 18 Februari 2013

LOMBA
PENULISAN
DAHARA PRIZE
AWAKEN OUR CHILDREN
Membangun Karekter Anak Melalui Cerita
Anak adalah orangtua di masa depan. Penerus generasi, dan pemegang amanat peradaban. Periode kanak-kanak merupakan masa penanaman yang amat menentukan kualitas seorang manusia. Sedangkan penanaman terbaik dan paling efektif, ternyata melalui cerita. Untuk itu kami membuka sayembara untuk Anda yang mencintai anak-anak, yang mewujudkan cintanya dalam sebuah karya. Kami mengharapkan karya-karya, dengan kualifikasi:
- Memiliki ruh spiritualitas, motivasi, edukasi, dan inspirasi
- Tidak menyinggung SARA
- Bahasa anak dengan sistematika sederhana
- Berbentuk cerita; Anda bisa memilih dongeng anak, novel anak, cergam, panduan belajar untuk anak (dalam format cerita), atau ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk anak (dalam format cerita).
- Sangat dianjurkan untuk disertai ilustrasi,
Kriteria pemenang didasarkan pada isi yang ada di dalamnya, dan juga aspek kebahasaan yang ada dalam bentuk tulisannya.

  • Juara 1 mendapatkan uang Rp. 3.000.000,00
  • Juara 2 mendapat uang Rp. 2.000.000,00
  • Juara 3 mendapat uang Rp. 1.000.000,00

Masing-masing pemenang, karyanya akan diterbitkan, mendapat cenderamata khas Dahara dan paket buku spiritual Dahara.
Naskah ditulis dalam format word, ukuran A4 spasi 1,5 , font Times New Roman 12, margin kanan, kiri, atas, bawah, sama 2,5 cm, 25-50 halaman. Kirimkan naskah Anda ke emaileditordahara@gmail.com, dilengkapi surat pernyataan keaslian naskah, foto diri dan profil singkat, beserta no HP dan alamat lengkap.
Naskah Anda kami terima paling lambat 6 Juni 2013.
Pengumuman Pemenang Sayembara 6 Agustus 2013.
NB: Boleh mengirim lebih dari satu naskah. Naskah yang layak, meskipun bukan pemenang, bisa kami terbitkan.
--Good Luck!--

http://daharaprize.com/index.php/component/content/article/2-info-editor/15-lomba-penulisan-berhadiah-jutaan
»»  baca selengkapnya ...

Sabtu, 02 Februari 2013

Sirah Shahabiyah: Teladan Buat Anak

Menceritakan sirah kepada anak-anak memang kesukaan saya. Kesukaan ini karena saya memang sukaa sekali dengan sirah. Sirah Nabi, sirah rasul, para sahabat, sahabiyah, selalu tidak habis untuk diceritakan.

Awalnya, saya ingin sekali menulis tentang sirah sahabiyah untuk anak-anak. Harapan saya tentu saja supaya anak-anak mengenal siapa itu Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Asma, Fatimah, dll. Mereka juga bisa meneladani  sifat-sifat baik yang dimiliki para sahabiyah ini. Dan ini semua berangkat dari keprihatinan. Ketika dalam sebuah acara anak-anak, saya dan teman-teman membuat kuis, sebagian dari mereka tidak tahu dengan para sahabiyah ini.

Kemudian saya ajukan proposal ke Gema Insani. Alhamdulillah direspon dengan baik. Dan ada masukan dari editor. Diharapkan saya menuliskannya dengan menambahkan kisah sehari-hari. Saya kemudian mengirimkan naskah jadi seri pertama: Khadijah. Setelah beberapa kali revisi, akhirnya  pola penulisannya pun disetujui.

Di buku Khadijah diceritakan di sebuah sekolah akan diadakan acara Market Day. Sarah, salah seorang murid di sekolah itu, ditunjuk sebagai salah seorang ketua kelompok. Namun, teman-teman Sarah meragukan kemampuan Sarah menjadi ketua. Pertama, Sarah perempuan. Kedua, Sarah kurang bisa berhitung. Olok-olokan temannya ini sempat membuat Sarah tidak percaya diri. Untunglah Pak Guru punya resep buat Sarah. Apa resep dari Pak Guru? Lanjutkan membacanya, ya! Hehehe. Seperti itulah kira-kira buku sahabiyah yang terdiri dari 10 seri ini. Jika ada yang berminat silakan inbox saya, langsung pesan ke Gema Insani, atau langsung meluncur ke tobuk terdekat.











»»  baca selengkapnya ...