TopMenu

Jumat, 01 Maret 2013

Kata: Sepotong Jiwa

Repost Catatan di Fb tahun 2009 ... :)

Keren pisan judulnya yak.... :) 


Memilih kata untuk bicara, kadang bukanlah perkara gampang. Dengan pilihan kata yang pas, yang jauh bisa menjadi dekat. Atau sebaliknya, yang dekat bisa menjadi jauh. Niatnya mau menyanjung, tapi tidak jarang yang disanjung mungkin malah menjadi tersinggung. Hal ini mungkin sering kita alami. 
Motivasi orang untuk berkata-kata juga berbeda-beda. Ada yang ingin memberi nasehat, ada yang cuman pengen ngomong aja, ada yang untuk becanda, mencairkan suasana, beriklan, memberikan doa, balas dendam (lho?), menyindir, mencemooh, dsb. 

Kalau kita liat akibat dari kata-kata, ada yang semakin dekat, jadi suka, jadi teman, jatuh cinta, jadi musuh, semakin jauh, berantem, perang saudara, perang negara, dsb. 

Ternyata tidak mudah juga berkata-kata ya. 
Dalam al-Qur`an Allah telah memberikan panduan berkata-kata kepada kita. Mungkin kita sering membaca kata qaulan ma’rufa (an-Nisa’:5), qaulan sadida (al-ahzab:70), qaulan layyina (Thaahaa:44), qaulan maisura (al-Israa’:28), dan masih ada lagi qaulan tsaqiilaa, qaulan karima, qaulan baligha. Silakan dicek sendiri, sekalian terjemahannya dan tafsirnya, supaya meresap... 

Qaulan baligha (perkataan yang membekas pada jiwa) bisa dilihat di surah an-Nisaa’ ayat 63. Qaulan baligha adalah ucapan yang dapat menyentuh jiwa orang yang mendengarkannya. 

Beruntung sekali saya, karena telah bertemu dengan beberapa orang yang memiliki qaulan baligha ini. Pengalaman dengan salah seorang dari mereka ingin saya share di sini. Begini kisahnya.... 

Dua tahun yang lalu kami pindah dari Otista ke daerah Condet (Kp. Tengah). Menemukan tempat tinggal bukanlah hal yang mudah buat kami. Karena spesifikasi yang diharapkan juga banyak (deket dari sekolah anak, deket dari kantor suami, harganya terjangkau, agak jauh dari jalan raya, dll). Dengan penuh perjuangan, alhamdulillah, kami pun mendapatkan tempat tinggal yang sesuai dengan kriteria kami. Dan saya menyakininya sebagai sebuah rezeki/nikmat yang harus selalu saya syukuri. Saya yakin, ini bukanlah suatu kebetulan. 

Beberapa hari tinggal di sana, di suatu pagi ketika saya keluar dari rumah, saya bertemu dengan teman kos saya dulu. Kami dulu satu kos di Depok. Kalau tidak salah sudah 10 tahun kami tidak bertemu. Terakhir bertemu ketika teman saya ini walimah. Setelah itu dia diboyong suaminya ke Karawang. Tentu saja, pertemuan itu membuat heboh dunia persilatan. Tapi karena dia buru-buru mau balik ke Karawang karena meninggalkan bayinya yang baru berumur 1 bulan, kami cuma bertukar nomor telepon. Di ujung pertemuan dia masih sempat bertanya, “Kok kamu gak ke rumah ustadzah?” Saya agak bingung awalnya. Saya jelaskan kalau saya new comer di sana. 

Beberapa hari kemudian, setelah tanya sana-sini saya jadi nyambung dengan pertanyaan teman saya itu. Berarti dia jauh-jauh dari Karawang, meninggalkan bayinya, setiap pekan sekali, hanya untuk menyetorkan hafalan al-Qur`annya ke ustadzah, yang sekarang menjadi tetangga saya. 
Saya pun panas. Gudang ilmu begitu dekat dengan saya tapi saya tidak bisa mengambil manfaat apa-apa dari beliau. Memang tidak mudah meminta kelas baru kepada ustadzah tersebut. Jadwalnya sangat padat. Kalau mau, sebenarnya bisa langsung ke lembaga yang beliau juga jadi pengajar di sana. Walaupun tidak terlalu jauh, angkutan ke sana agak susah buat saya yang memang maunya serba gampang saja...:( 

Tapi, Allah memberikan lagi rezeki-Nya kepada saya. Ustadzah tersebut tiba-tiba membuka kelas tahsin baru hanya untuk 10 peserta. Dan saya termasuk orang pertama yang tahu berita ini. Tentu saja kesempatan langka ini tidak saya sia-siakan. Dari sekian banyak yang mendaftar, akhirnya kelas ditutup dengan jumlah murid 9 orang saja. 

Dari pertemuan pertama hingga sekarang, belum ada rasa jenuh/bosan dalam diri kami ketika belajar dengan beliau. Kami sering sekali menolak acara jika bentrok dengan jadwal pertemuan dengan ustadzah ini. Yang kami tunggu-tunggu adalah menit-menit terakhir pertemuan. Karena biasanya beliau memberikan nasehat-nasehat/motivasi-motivasi yang bagaikan sumur ... daleeeem banget. Dan nasehat-nasehatnya itu sering kali kami ingat-ingat. 

Di pertemuan kemaren (2 pekan sebelumnya kami libur, karena anak beliau masuk RS), kami pun mendapatkan nasehat yang sangat membekas. Biasanya kalau sudah libur, bacaan kami pun jadi banyak salahnya. Dan pekan depan berarti kami harus mengulang. 
Kata beliau: 
1. Banyaklah latihan. Kalau kita banyak latihan, lidah kita akan fasih. Kalau jarang latihan, lidah kita akan kelu. Kalau sering ngulang, yang rugi tuh masyarakat. Karena masyarakat sedang menunggu orang-orang yang akan mengajari mereka al-Qur`an. 

2. Jangan ngobrol. Kalau banyak ngobrol, setan akan datang ke majelis ini. Ini halaqoh Qur`an. Yang sedang kita pelajari adalah Al-Qur`an, bukan perkataan manusia. (Lalu beliau mengutip sebuah ayat: wa idza quri’a alaihimul qur`an ....) apabila dibacakan al-Qur`an, dengarkanlah (diamlah) mudah-mudahan kamu mendapat rahmat. Kalau ngobrol, nanti kita tidak mendapat apa-apa. 
Hanya itu pesan beliau. Lalu kami baca doa, bersalaman, dan bubar.

Poin (pukulan) 1. Beliau gak nanya gimana tilawah kami selama 2 pekan ini. Karena beliau sepertinya sudah tahu dari kesalahan-kesalahan bacaan yang kami lakukan. Padahal, beratus kajian yang diikuti, beratus buku yang sudah dibaca, tetap saja pernyataan berikut tidak berubah, “bacalah al-Qur`an minimal 1 juz dalam satu hari.” Jika kita sudah lancar, dengan kecepatan sedang kita bisa selesai membaca 1 juz hanya dalam waktu 45 menit saja padahal. Ini sudah cukup untuk latihan sehari. Cukup untuk membuat lidah kita tidak menjadi kelu. Waktu yang sedikit dibandingkan ketika kita asik fesbukan sebenarnya. 

Poin (pukulan) 2. Mungkin tidak dalam halaqoh Qur`an saja. Di tempat-tempat lain ketika al-Qur`an sedang dibacakan tidak sedikit dari kita yang masih asyik mengobrol, merokok, sms-an, bbm-an, (duh!) dll. Bahkan ketika tilawah pun tidak jarang kita sambi dengan membalas sms. 
“Nanti kita tidak mendapatkan apa-apa,” kata beliau. Padahal Allah menjanjikan akan menurunkan rahmat-Nya bagi orang-orang yang serius mendengarkan ketika kalam-Nya dibacakan. 

Itulah pengalaman saya dengan orang yang memiliki lisan qaulan baligha. Ketika niatnya ikhlas, pesannya nyampe ke hati. 

Kekaguman saya semakin bertambah terhadap beliau, karena wawasan beliau yang begitu luas. Sudah sedemikian ustadzahnya (karena suka dipanggil untuk mengisi dauroh Qur`an di luar kota bahkan nyebrang pulau Jawa), beliau sendiri masih memiliki halaqoh Qur`an, masih tetap belajar Al-Qur`an. Cuman teman-teman halaqohnya mungkin bukan orang Indonesia lagi. Karena beliau belajar via internet. Dan kalau dilihat dari penampilan, beliau adalah muslimah yang bersahaja, sangat sederhana. 

Kembali ke topik di atas, kalau saya simpulkan pilihan kata (diksi) seseorang sangat tergantung dari akhlak dan keimanannya kepada Allah. Dan kalau kita bisa menjaga kata-kata kita (lisan kita) imbalannya adalah surga-Nya (HR Bukhari). Sesuatu yang tidak akan pernah kita tolak pastinya. 

Wallahu a'lam
»»  baca selengkapnya ...

Pertolongan Allah Itu Dekat

Kalau  kita coba merenung, saya yakin semua setuju dengan judul tulisan di atas. Saya sering mengalaminya. Kita semua, pastinya. Tidak ada "kebetulan" dalam hidup. Suatu kali ketika sedang bingung karena ada acara yang harus dihadiri sementara anak tidak ada yang jagain, tiba-tiba  ponakan datang. Dan dengan senang hati bersedia menjaga anak kita. Bukankah itu pertolongan Allah?

Satu kisah yang rasanya sulit untuk saya lupakan adalah waktu saya mau melahirkan Muadz, anak pertama saya. Waktu itu saya masih bekerja di sebuah penerbitan buku di daerah Kalibata. Karena belum ada pengalaman, saya memeriksakan kandungan ke bidan dekat rumah teman saya di daerah Ps. Minggu. Sementara saya tinggal di Otista. Sebenarnya Jaka Sembung naik ojek, sih. Jauh banget dari rumah. Hehehe. Tapi karena rekomendasi dari teman dan setelah periksa yang pertama kali, saya cocok dengan bidan itu. Akhirnya berlanjut  hingga bertekad melahirkan juga penginnya dibantu beliau. O ya, bidan itu juga urang awak. Membuat saya tambah nyaman diperiksa beliau :).

Hari Senin, 9 Juli 2001 saya sudah mengambil cuti melahirkan. Malamnya, saya demam. Badan saya menggigil. Dan tidak nafsa makan. Saya sudah diwanti-wanti keluarga supaya memaksakan untuk makan. Tapi apa daya, nafsu makan itu benar-benar hilang.
Hari Kamis, 12 Juli 2001, pukul 03.00 saya merasakan kontraksi. Saya bangunkan suami dan kakak perempuan saya.

Suami segera ke jalan raya mencari taksi. Cukup lama, akhirnya beliau datang bersama taksi pesanan. Sambil mengambil barang-barang, suami cerita, tidak ada taksi yang mau distop. Hingga taksi yang ini. Tadinya sudah mau berlalu juga tapi akhirnya sang sopir memundurkan taksinya dan bersedia menjemput saya.

Sopir taksi ini rambutnya dikucir, pemirsah. Jantung saya agak deg-degan. Premankah dia? Ketika kami berjalan menuju  taksi itu, saya melihat keempat pintunya sudah dibukakan sang sopir. Saya, suami dan kakak saya pun segera menaikinya. Awalnya, taksi berjalan perlahan. Tapi lama-lama, mulai ngebut sampai saya berpegangan kuat ke jok depan. Lampu merah, karena jalanan sepi, dia terobos saja pemirsa. Saya mulai panik dan lirik-lirikan dengan kakak saya. Tapi anehnya, ketika ada polisi tidur, taksi berjalan sangat pelan. Saya menarik napas lega. Apa jadinya kalau tetap ngebut. *bayangkan*

Rumah sang bidan berada di dalam kompleks. Dua gerbang menuju rumahnya diportal. Tidak terlihat penjaga di sana. Sang sopir turun berkali-kali dan berusaha membuka gerbang. Tapi tidak bisa. Akhirnya, jalan satu-satunya adalah melewati rel kereta api. Dan itu artinya, kami harus berjalan kaki. Akhirnya alternatif inilah yang diambil. Begitu taksi sampai di pinggir rel, saya melirik argo. Lho, kok enggak nyala? Dari tadi? Saya pasrah. Dalam hati berdoa moga kami terhindar dari segala sesuatu yang buruk.

Sopir taksi  menurunkan tas dari bagasi. Saat itulah suami bertanya, "Berapa Mas?"
Tahukah pemirsaah jawaban sang sopir? "Lima ratus ribu?!" BUKAN!
"Bawa aja, Mas, buat susu bayi," katanya sambil tersenyum.

Kami bertiga kaget. "Lho, kok begitu?" tanya suami.
"Iya, gak apa-apa. Saya ikhlas. Moga Ibu dan bayinya selamat, ya," katanya sebelum pamit.

Akhirnya kami berpisah. Masih terpana, kami melanjutkan langkah menuju rumah bidan. Masih ada ternyata orang baik di Jakarta, hehehe. Kisah ini kemudian ditulis suami dan dimasukkan ke Surat Pembaca Harian Republika, dan dimuat. Ayah saya sampai melaminating guntingan berita itu. Subhanallah. Dia-lah yang telah menggerakkan hati sang sopir taksi  sehingga mau mengantarkan kami. Dan kemudian sang sopir tidak mau dibayar. Luar biasa.

Ketika kisah ini kami ceritakan ke teman-teman, ada yang bilang begini, "Ada sopir yang percaya, ketika mereka menolong orang yang akan melahirkan, mereka akan mendapatkan keberuntungan."
Entahlah.

Btw, terus apakah saya langusng melahirkan begitu sampai di rumah bidan? Tidak pemirsah. Saya melahirkan hari Jumat pukul 11.00, setelah 30 jam kontraksi datang-pergi datang-pergi :). What amazing to be a mother!
»»  baca selengkapnya ...