Antara
Cita dan Cinta
Cerita diawali ketika Dahlan muda mengambil
kuliah lagi di Universitas 17 Agustus Samarinda. Setelah sebelumnya terdaftar
sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Agama Islam di kota yang sama. Semuanya
tidak lebih untuk melepas kegalauan. Galau ketika tiba-tiba kampung halaman bermain-main
di pelupuk matanya. Dan galau dengan masa depan yang masih jauh dari titik
terang.
Mengikuti kuliah di dua kampus itu
masih belum bisa membangkitkan semangat Dahlan untuk mengejar cita-citanya. Situasi
politik negeri yang carut marut membawa Dahlan Muda lebih asyik berdiskusi dengan
teman-teman seperjuangannya di sekretariat PII daripada mendengarkan ceramah
dosen-dosennya di kampus.
Ditambah surat-surat dari sang pujaan
hati, Aisha dari kampung halaman, menambah kegalauan Dahlan muda.
Ketidakmampuan memberikan harapan kepada sang gadis membuat Dahlan tidak sanggup
membalas surat-surat itu. Namun, tidak hanya Aisha, tapi juga ada Maryati.
Berbeda dengan Aisha, Maryati cenderung lebih berani. Dia datang ke Samarinda
dengan alasan untuk kuliah, walau tujuan sebenarnya adalah ingin mendapatkan
kepastian dari Dahlan: pilih aku atau Aisha! Namun, di tengah dua gadis itu,
ada seorang gadis lagi dari Loa Kulu yang hadir dalam kehidupan Dahlan. Nafsiah, si tomboi teman seperjuangan Dahlan
di PII.
Situasi politik yang semakin memanas di tahun
1974, membuat Dahlan dan teman-teman PII-nya tidak tahan hanya diam. Mereka
kemudian melakukan aksi di Tugu Nasional. Aksi itu kemudian membuat dia dan
teman-temannya menjadi buronan aparat pemerintah. Dalam pengejaran itu, Dahlan ditakdirkan
bertemu dengan seorang janda tentara, Nenek Saripa. Dalam persembunyian di
rumah Nenek Saripa itulah, Dahlan mengusung tekad memperjuangkan cita dan
cintanya.
Sayid berseru agar Nafsiah segera
turun. Dan, mereka hilang ditelan rimba bambu.
“Dia menyukaimu!” ucapan Nenek Saripa
itu seperti halilintar. (halaman 168)
“Banyak cara untuk melawan, Lan,”
kata Sayid. Suaranya amat tenang. “Kamu bisa terus mempertahankan idealisme
tanpa harus dikejar-kejar tentara.”
“Caranya?”
“Jadi wartawan!” sahut Sayid dengan
tegas. “Kalau mau, kamu bisa bergabung dengan kami di Mimbar Masyarakat.” (hal
157)
Dan itulah yang terjadi. Setelah
situasi tenang, Dahlan melupakan kuliahnya. Dia menerima tawaran Sayid. Menjadi
wartawan! Jungkir balik menjadi wartawan pemula tentu saja dialami Dahlan.
Tidak jarang, liputan yang dia peroleh dengan susah payah, hanya dimuat satu
baris. Pelengkap berita! Namun, perlahan tapi pasti, karir Dahlan sebagai
wartawan semakin naik. Hingga akhirnya dia dipercaya memimpin Jawa Pos yang
ketika itu mulai kolaps. Dan, cintanya pun berlabuh di hati anak seorang tentara.
Tidak diceritakan bagaimana Dahlan
muda mengasah kemampuan menulisnya sehingga bisa menjadi wartawan yang cukup
diperhitungkan di awal karirnya. Kebiasaannya dari kecil hanyalah menuliskan
kisah hidupnya di buku diari. Kenyataannya, kebiasaan ini tidak bisa dipandang
remeh. Sejenak, saya teringat dengan Anne Frank (penulis Buku Harian terkenal)
dan R.A. Kartini.
Dedikasi Dahlan dalam mengemban
amanah sebagai wartawan, bahkan mengalahkan kerinduannya terhadap sang Bapak
yang tinggal di kampung. Perjalanan yang hanya memakan waktu 5 jam sebenarnya dari
Surabaya, tempat Dahlan menetap setelah pindah dari Samarinda. Dia baru bisa
menginjakkan kakinya kembali di Kampung Dalem setelah hampir 10 tahun
meninggalkannya. Bertemu kembali dengan sang Bapak tercinta, inspirator ulung
Dahlan, cukup membuat haru.
***
Di bab awal novel ini, saya merasakan
alur yang agak lama dan membosankan. Saya bahkan khawatir akan membutuhkan
waktu yang lumayan lama mengkhatamkannya. Tapi setelah masuk ke bab kedua dan
seterusnya, rasanya buku ini memiliki magnit. Istilah saya, dalam satu tarikan
nafas, buku ini bisa saya tuntaskan. Salah satu sebabnya, kalimat yang digunakan sederhana dan mudah
dicerna.
Tidak salah jika kita melirik penulis
novel ini. Khrisna Pabichara, seorang penulis yang menjadi pemenang Katulistiwa
Literary Award 2012, menjadikan novel ini enak dibaca dan perlu. Dan, saya
sepakat dengan judulnya, novel ini memang menginspirasi!
"Bung Karno juga tidak punya bakat menjadi presiden, Ding. ... Butuh satu modal lagi, kau bisa menjadi wartawan andal."
"Apa?"
"Kesungguhan! ..." (halaman 192)
"Bung Karno juga tidak punya bakat menjadi presiden, Ding. ... Butuh satu modal lagi, kau bisa menjadi wartawan andal."
"Apa?"
"Kesungguhan! ..." (halaman 192)
***
Kisah dalam kitab Al-Ghazali yang
dituturkan sang Bapak, menjadi ending buku ini.
Imam Al-Ghazali, kata Bapak, lantas bertanya
lagi kepada murid-muridnya. “Apakah yang paling dekat dengan diri kita? … Pada
hakikatnya, yang paling dekat dengan diri kita adalah kematian.” (hal 361-362)
Seeeep ... mantap, Kakak! (y) ^_^
BalasHapusMakasi, Say ... ;)
HapusReviewnya informatif dan jujur. Terima kasih sudah memberi gambaran ttg buku tersebut :)
BalasHapusMbak Yas ... makasi banyak sudah membaca dan berkunjung :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmembaca....
BalasHapusterima kasih ... :) *waaah ...*
HapusResensinya singkat padat informatif. Semoga menaaang, Kakak. Blognya makin rapi euy!
BalasHapusAmiiin ... :)
Hapussubhanallah udah ngumpul PR, aku malah asik dengan surat2 cinta Dahlan, hahahah...
BalasHapusHaha ... ayo Mbak ditulis :) msh ada satu PR lagi kan, novel bonus ;)
Hapus