TopMenu

Kamis, 02 Mei 2013

Resensi Novel Surat Dahlan













Antara Cita dan Cinta

Cerita diawali ketika Dahlan muda mengambil kuliah lagi di Universitas 17 Agustus Samarinda. Setelah sebelumnya terdaftar sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Agama Islam di kota yang sama. Semuanya tidak lebih untuk melepas kegalauan. Galau ketika tiba-tiba kampung halaman bermain-main di pelupuk matanya. Dan galau dengan masa depan yang masih jauh dari titik terang.
Mengikuti kuliah di dua kampus itu masih belum bisa membangkitkan semangat Dahlan untuk mengejar cita-citanya. Situasi politik negeri yang carut marut membawa Dahlan Muda lebih asyik berdiskusi dengan teman-teman seperjuangannya di sekretariat PII daripada mendengarkan ceramah dosen-dosennya di kampus.
Ditambah surat-surat dari sang pujaan hati, Aisha dari kampung halaman, menambah kegalauan Dahlan muda. Ketidakmampuan memberikan harapan kepada sang gadis membuat Dahlan tidak sanggup membalas surat-surat itu. Namun, tidak hanya Aisha, tapi juga ada Maryati. Berbeda dengan Aisha, Maryati cenderung lebih berani. Dia datang ke Samarinda dengan alasan untuk kuliah, walau tujuan sebenarnya adalah ingin mendapatkan kepastian dari Dahlan: pilih aku atau Aisha! Namun, di tengah dua gadis itu, ada seorang gadis lagi dari Loa Kulu yang hadir dalam kehidupan Dahlan. Nafsiah, si tomboi teman seperjuangan Dahlan di PII.
 Situasi politik yang semakin memanas di tahun 1974, membuat Dahlan dan teman-teman PII-nya tidak tahan hanya diam. Mereka kemudian melakukan aksi di Tugu Nasional. Aksi itu kemudian membuat dia dan teman-temannya menjadi buronan aparat pemerintah. Dalam pengejaran itu, Dahlan ditakdirkan bertemu dengan seorang janda tentara, Nenek Saripa. Dalam persembunyian di rumah Nenek Saripa itulah, Dahlan mengusung tekad memperjuangkan cita dan cintanya.

          Sayid berseru agar Nafsiah segera turun. Dan, mereka hilang ditelan rimba bambu.          
          “Dia menyukaimu!” ucapan Nenek Saripa itu seperti halilintar. (halaman 168)
           
“Banyak cara untuk melawan, Lan,” kata Sayid. Suaranya amat tenang. “Kamu bisa terus mempertahankan idealisme tanpa harus dikejar-kejar tentara.”
“Caranya?”
“Jadi wartawan!” sahut Sayid dengan tegas. “Kalau mau, kamu bisa bergabung dengan kami di Mimbar Masyarakat.” (hal 157)

Dan itulah yang terjadi. Setelah situasi tenang, Dahlan melupakan kuliahnya. Dia menerima tawaran Sayid. Menjadi wartawan! Jungkir balik menjadi wartawan pemula tentu saja dialami Dahlan. Tidak jarang, liputan yang dia peroleh dengan susah payah, hanya dimuat satu baris. Pelengkap berita! Namun, perlahan tapi pasti, karir Dahlan sebagai wartawan semakin naik. Hingga akhirnya dia dipercaya memimpin Jawa Pos yang ketika itu mulai kolaps. Dan, cintanya pun berlabuh di hati anak seorang tentara.
Tidak diceritakan bagaimana Dahlan muda mengasah kemampuan menulisnya sehingga bisa menjadi wartawan yang cukup diperhitungkan di awal karirnya. Kebiasaannya dari kecil hanyalah menuliskan kisah hidupnya di buku diari. Kenyataannya, kebiasaan ini tidak bisa dipandang remeh. Sejenak, saya teringat dengan Anne Frank (penulis Buku Harian terkenal) dan R.A. Kartini.
Dedikasi Dahlan dalam mengemban amanah sebagai wartawan, bahkan mengalahkan kerinduannya terhadap sang Bapak yang tinggal di kampung. Perjalanan yang hanya memakan waktu 5 jam sebenarnya dari Surabaya, tempat Dahlan menetap setelah pindah dari Samarinda. Dia baru bisa menginjakkan kakinya kembali di Kampung Dalem setelah hampir 10 tahun meninggalkannya. Bertemu kembali dengan sang Bapak tercinta, inspirator ulung Dahlan, cukup membuat haru.
***
Di bab awal novel ini, saya merasakan alur yang agak lama dan membosankan. Saya bahkan khawatir akan membutuhkan waktu yang lumayan lama mengkhatamkannya. Tapi setelah masuk ke bab kedua dan seterusnya, rasanya buku ini memiliki magnit. Istilah saya, dalam satu tarikan nafas, buku ini bisa saya tuntaskan. Salah satu sebabnya, kalimat yang digunakan sederhana dan mudah dicerna.
Tidak salah jika kita melirik penulis novel ini. Khrisna Pabichara, seorang penulis yang menjadi pemenang Katulistiwa Literary Award 2012, menjadikan novel ini enak dibaca dan perlu. Dan, saya sepakat dengan judulnya, novel ini memang menginspirasi!

"Bung Karno juga tidak punya bakat menjadi presiden, Ding. ... Butuh satu modal lagi, kau bisa menjadi wartawan andal."
"Apa?"
"Kesungguhan! ..." (halaman 192)
***
Kisah dalam kitab Al-Ghazali yang dituturkan sang Bapak, menjadi ending buku ini.
Imam Al-Ghazali, kata Bapak, lantas bertanya lagi kepada murid-muridnya. “Apakah yang paling dekat dengan diri kita? … Pada hakikatnya, yang paling dekat dengan diri kita adalah kematian.” (hal 361-362)








11 komentar:

  1. Seeeep ... mantap, Kakak! (y) ^_^

    BalasHapus
  2. Reviewnya informatif dan jujur. Terima kasih sudah memberi gambaran ttg buku tersebut :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Yas ... makasi banyak sudah membaca dan berkunjung :)

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Resensinya singkat padat informatif. Semoga menaaang, Kakak. Blognya makin rapi euy!

    BalasHapus
  5. subhanallah udah ngumpul PR, aku malah asik dengan surat2 cinta Dahlan, hahahah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha ... ayo Mbak ditulis :) msh ada satu PR lagi kan, novel bonus ;)

      Hapus