TopMenu

Selasa, 14 Mei 2013

Resensi Novel: Cinta Kamu, Aku





Judul Buku: Cinta Kamu, Aku

Penulis: Irfan Ihsan
Penerbit: Noura Books
Tebal Buku: 320 halaman
Cetakan Pertama, Februari 2013


Bukan Drama Radio!


Fabian Suhendra atau yang biasa dipanggil Aan, seorang pemuda 27 tahun yang masih menjomblo, bekerja di sebuah stasiun radio swasta, Flash FM. Tiga bulan menunggak bayaran kosan membuat Aan terpaksa kucing-kucingan dengan ibu kosnya. Malapetaka itu disebabkan karena persaingan ketat antar stasiun radio sehingga jadwal siarannya dikurangi. Otomotis, penghasilan Aan berkurang.
Risha, penyanyi papan atas yang tengah galau dengan Yudha, pencipta lagu kondang, sang kekasih hati yang akhirnya menikah dengan Ratih karena paksaan orang tuanya. Yudha berjanji akan segera mempersunting Risha, begitu urusan perceraiannya selesai dengan Ratih.
Pertemuan pertama Risha  dengan Aan terjadi ketika Risha dan manajernya salah jadwal interview di radio Aan. Namun dengan sangat meyakinkan, Aan berhasil mewawancarai Risha dalam acara on air pertamanya yang cukup sukses. Pada saat itu, Aan tidak bisa menutupi dirinya bahwa pesona Risha sudah merasuk ke dalam hatinya.
Pertemuan kedua terjadi ketika Aan harus menggantikan rekan kerjanya untuk melakukan reportase di sebuah acara penghargaan bagi insan musik Indonesia. Ketika mereka sedang ngobrol berdua, wartawan datang untuk mewawancarai Risha. Tidak jauh dari mereka, Risha melihat Yudha juga sedang diwawancarai wartawan. Yudha terlihat menggandeng Ratih, istrinya, dengan mesranya. Yudha menyangkal isu bahwa hubungannya dengan Ratih tidak harmanis.
Pemandangan itu membuat hati Risha panas. Dan terjadilah sebuah ‘kecelakaan’ yang akhirnya membuat jalan hidup Risha dan Aan berbalik 180 derajat. Kejadian yang akhirnya membuat heboh ‘dunia persilatan’.

***

“Iya …. Aku ngerti, kok, apa yang sebenernya terjadi. Aku juga kadang nggak bisa ngendaliin perasaanku. Apalagi ke kamu. Terus terang sejak pertama kali lihat kamu di studio, aku nggak bisa ngebohongin perasaan aku. Aku … sayang sama kamu.” Perkataan Aan mengalir begitu saja, tanpa bisa dibendung. Jantungnya berdebar, hatinya lega. Namun, kebalikannya dengan Risha, mukanya kelihatan kaget, perasaan campur aduk antara bingung mau komentar apa, kasihan, sebal, dan nggak tahu harus mulai dari mana.

***

Kisah di buku ini kocak, seru, dan bernuansa religi menurut saya. Banyak adegan-adegan kocak yang membuat saya cekikikan ketika membacanya. Salah satunya, kutipan adegan di atas. Tidak bisa membayangkan Aan yang kepedean dengan perasaannya menyatakan apa yang ada di dalam hatinya. Sementara Risha seperti mau meledak ingin menyadarkan Aan: Kamu salah! Atau membayangkan ketika Aan sedang tidur kemudian dikagetkan rekan kerjanya dan pose kagetnya itu difoto dan di-upload di facebook. Juga ketika mereka menjalankan ide Pathur, rekan kerja Aan, yang membawa rombongan palang pintu  untuk melamar Risha di apartemennya. Ditambah tokoh Pak Parno yang bagaikan tentara kerajaan menyambut kehadiran Risha. Dan sang Aki, kakek Aan, yang selalu salah menyebut nama Risha.
Buku ini seru ya jelas saja melihat perjuangan seorang Aan untuk mendapatkan Risha yang dunia mereka bagaikan langit dan bumi. Tapi yang paling seru dan membuat saya lagi-lagi terbahak adalah ketika Risha, Mbak Silvi dan Lego (asisten dan manajer Risha) harus menyamar dan menghindar dari kejaran wartawan. Kejar-kejaran itu bagaikan adegan film James Bond adanya. Apalagi ketika berbelok dari jalan protokol, mereka menemui jalanan yang separonya dipakai buat tenda hajatan. Dan, Lego sukses membuat tenda dan para pemasangnya berantakan.
Sementara nuansa religi terlihat ketika dari awal digambarkan sosok Aan yang rajin shalat, pemuda baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Risha yang tadinya lebih sibuk mengurus karirnya, akhirnya tersentak ketika mendengar azan di subuh hari dan hatinya terpanggil untuk menunaikan kewajiban yang selama ini dia abaikan. Bahkan sang Aki, sangat khawatir mengetahui Aan memiliki hubungan dengan seorang penyanyi terkenal. Sang Aki mewanti-wanti Aan supaya segara saja menikahi gadis itu. Nasihat sang Aki pula yang membuat Aan kembali semangat untuk mendapatkan Risha.
“Eh, inget … langsung nikah! Jangan jinah! Asup neraka nanti!”


***
Dengan bahasa yang ngepop dan alur cerita yang mengalir, buku ini menarik untuk dibaca. Pas menjadi bacaan hiburan. Namun, dari sisi editing, ada beberapa penulisan kata terlihat tidak konsisten. Seperti pemakaian kata Blackberry, ada yang dimiringkan dan ada yang tidak (hal 131 dan 156). Kemudian  penulisan Royal Ballroom Surabaya (halaman 135 dan 136). Cukup banyak kata-kata asing yang sebenarnya sudah umum, namun ditulis dengan miring (italic). Agak kurang nyaman saja membacanya.

Terakhir, bagi mereka yang pernah menggeluti dunia radio, pasti seru banget membaca buku ini. Tapi jangan khawatir, bagi yang belum tahu banyak tentang dunia ini, Irfan Ihsan, yang memang lama bergelut di dunia radio, dengan baik memberi kita gambaran pekerjaan di radio itu seperti apa. Bagi pecinta drama romantis, buku ini recommended …! 




»»  baca selengkapnya ...

Kamis, 02 Mei 2013

Resensi Novel Surat Dahlan













Antara Cita dan Cinta

Cerita diawali ketika Dahlan muda mengambil kuliah lagi di Universitas 17 Agustus Samarinda. Setelah sebelumnya terdaftar sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Agama Islam di kota yang sama. Semuanya tidak lebih untuk melepas kegalauan. Galau ketika tiba-tiba kampung halaman bermain-main di pelupuk matanya. Dan galau dengan masa depan yang masih jauh dari titik terang.
Mengikuti kuliah di dua kampus itu masih belum bisa membangkitkan semangat Dahlan untuk mengejar cita-citanya. Situasi politik negeri yang carut marut membawa Dahlan Muda lebih asyik berdiskusi dengan teman-teman seperjuangannya di sekretariat PII daripada mendengarkan ceramah dosen-dosennya di kampus.
Ditambah surat-surat dari sang pujaan hati, Aisha dari kampung halaman, menambah kegalauan Dahlan muda. Ketidakmampuan memberikan harapan kepada sang gadis membuat Dahlan tidak sanggup membalas surat-surat itu. Namun, tidak hanya Aisha, tapi juga ada Maryati. Berbeda dengan Aisha, Maryati cenderung lebih berani. Dia datang ke Samarinda dengan alasan untuk kuliah, walau tujuan sebenarnya adalah ingin mendapatkan kepastian dari Dahlan: pilih aku atau Aisha! Namun, di tengah dua gadis itu, ada seorang gadis lagi dari Loa Kulu yang hadir dalam kehidupan Dahlan. Nafsiah, si tomboi teman seperjuangan Dahlan di PII.
 Situasi politik yang semakin memanas di tahun 1974, membuat Dahlan dan teman-teman PII-nya tidak tahan hanya diam. Mereka kemudian melakukan aksi di Tugu Nasional. Aksi itu kemudian membuat dia dan teman-temannya menjadi buronan aparat pemerintah. Dalam pengejaran itu, Dahlan ditakdirkan bertemu dengan seorang janda tentara, Nenek Saripa. Dalam persembunyian di rumah Nenek Saripa itulah, Dahlan mengusung tekad memperjuangkan cita dan cintanya.

          Sayid berseru agar Nafsiah segera turun. Dan, mereka hilang ditelan rimba bambu.          
          “Dia menyukaimu!” ucapan Nenek Saripa itu seperti halilintar. (halaman 168)
           
“Banyak cara untuk melawan, Lan,” kata Sayid. Suaranya amat tenang. “Kamu bisa terus mempertahankan idealisme tanpa harus dikejar-kejar tentara.”
“Caranya?”
“Jadi wartawan!” sahut Sayid dengan tegas. “Kalau mau, kamu bisa bergabung dengan kami di Mimbar Masyarakat.” (hal 157)

Dan itulah yang terjadi. Setelah situasi tenang, Dahlan melupakan kuliahnya. Dia menerima tawaran Sayid. Menjadi wartawan! Jungkir balik menjadi wartawan pemula tentu saja dialami Dahlan. Tidak jarang, liputan yang dia peroleh dengan susah payah, hanya dimuat satu baris. Pelengkap berita! Namun, perlahan tapi pasti, karir Dahlan sebagai wartawan semakin naik. Hingga akhirnya dia dipercaya memimpin Jawa Pos yang ketika itu mulai kolaps. Dan, cintanya pun berlabuh di hati anak seorang tentara.
Tidak diceritakan bagaimana Dahlan muda mengasah kemampuan menulisnya sehingga bisa menjadi wartawan yang cukup diperhitungkan di awal karirnya. Kebiasaannya dari kecil hanyalah menuliskan kisah hidupnya di buku diari. Kenyataannya, kebiasaan ini tidak bisa dipandang remeh. Sejenak, saya teringat dengan Anne Frank (penulis Buku Harian terkenal) dan R.A. Kartini.
Dedikasi Dahlan dalam mengemban amanah sebagai wartawan, bahkan mengalahkan kerinduannya terhadap sang Bapak yang tinggal di kampung. Perjalanan yang hanya memakan waktu 5 jam sebenarnya dari Surabaya, tempat Dahlan menetap setelah pindah dari Samarinda. Dia baru bisa menginjakkan kakinya kembali di Kampung Dalem setelah hampir 10 tahun meninggalkannya. Bertemu kembali dengan sang Bapak tercinta, inspirator ulung Dahlan, cukup membuat haru.
***
Di bab awal novel ini, saya merasakan alur yang agak lama dan membosankan. Saya bahkan khawatir akan membutuhkan waktu yang lumayan lama mengkhatamkannya. Tapi setelah masuk ke bab kedua dan seterusnya, rasanya buku ini memiliki magnit. Istilah saya, dalam satu tarikan nafas, buku ini bisa saya tuntaskan. Salah satu sebabnya, kalimat yang digunakan sederhana dan mudah dicerna.
Tidak salah jika kita melirik penulis novel ini. Khrisna Pabichara, seorang penulis yang menjadi pemenang Katulistiwa Literary Award 2012, menjadikan novel ini enak dibaca dan perlu. Dan, saya sepakat dengan judulnya, novel ini memang menginspirasi!

"Bung Karno juga tidak punya bakat menjadi presiden, Ding. ... Butuh satu modal lagi, kau bisa menjadi wartawan andal."
"Apa?"
"Kesungguhan! ..." (halaman 192)
***
Kisah dalam kitab Al-Ghazali yang dituturkan sang Bapak, menjadi ending buku ini.
Imam Al-Ghazali, kata Bapak, lantas bertanya lagi kepada murid-muridnya. “Apakah yang paling dekat dengan diri kita? … Pada hakikatnya, yang paling dekat dengan diri kita adalah kematian.” (hal 361-362)








»»  baca selengkapnya ...